SURABAYA — Tren budaya pengenyahan (cancel culture) sedang menghantui para figur publik. Label mereka sebagai ‘sosok pemengaruh’ menuntut figur publik untuk selalu menjadi teladan yang jauh dari cela. Nyatanya, figur publik tak selalu mampu menjaga diri bebas dari kesalahan.
Saya kerap berpikir, jika melakukan kesalahan, haruskah karier figur publik dienyahkan dalam sekejap mata lewat cancel culture? Barangkali, mereka masih ‘pantas’ untuk mendapatkan kesempatan kedua?
Batas kebenaran dan kesalahan dipisahkan garis yang tipis. Tanpa adanya pembuktian melalui riset atau proses hukum, penilaian antara keduanya didominasi oleh subjektifitas. Meski belum jelas sepenuhnya, penjatuhan sanksi sepihak kerap diambil sebagai pemberi efek jera. Terlebih jika menyangkut figur publik yang telah dianggap sebagai ‘dewa sempurna’ nan tanpa celah.
Dalam jurnal Cancel Culture in the Frame of Comparison of Indonesia and South Korea, cancel culture berguna sebagai budaya yang dibawa oleh sebuah komunitas dalam upaya membatalkan atau menarik dukungan kepada seorang figur publik. Sikap ini diambil sebagai sanksi sosial dan hukuman terpintas bagi figur publik yang telah melakukan suatu kesalahan. Tak sedikit figur publik yang telah merasakan dampak kultur ini, di antaranya ada J.K. Rowling, Kim Seonho, hingga JRX SID.
Pemberian sanksi ini biasanya berawal dari cuitan di media sosial. Komentar demi komentar pedas dari warganet ditujukan kepada figur publik yang tengah tersandung sebuah kasus yang dinilai tak pantas dilakukan oleh seorang pemengaruh masa.
Selain itu, kulture ini juga dapat berasal dari respon perbuatan sang idola di masa lampau yang diungkapkan oleh seseorang yang mengaku sebagai korban. Meskipun belum tentu benar, sang figur tetap menjadi samsak hujatan nan empuk dari warganet yang tersulut emosi.
Ironisnya, pilihan yang semula dianggap sebagai jalan terbaik untuk memberi efek jera justru bisa membawa malapetaka bagi mereka yang belum tentu bersalah. Sebut saja kasus yang menimpa aktor mancanegara, Johnny Depp. Ia terancam kehilangan kariernya karena telah terlebih dulu di-cancel, bahkan sebelum putusan pengadilan menyatakan fakta kasusnya. Contoh ini merupakan sedikit bukti nyata buruknya penilaian dan pengambilan keputusan lewat kultur ini.
Sebelum memberikan penghakiman, lebih baik coba menganalisis sebesar apa masalah dan dampak yang akan ditimbulkannya. Figur publik tetap seorang manusia yang tak luput dari kesalahan, maka kesempatan kedua tetap patut dipertimbangkan. Pemantauan sikap setelah mereka kembali aktif ke dunia hiburan pun diperlukan sebagai evaluasi pembelajaran.
Tak dapat dipungkiri, kultur masyarakat memegang pengaruh besar dalam menyikapi sebuah masalah. Meski demikian, penilaian benar atau salah dan layak atau tidak layaknya akan kembali pada pilihan individual. Penyampaian pendapat pribadi di ruang publik seharusnya dipenuhi kesadaran bahwa akan berdampak pada banyak lini. Bak melempar pisau ke sembarang arah, siapapun dapat menjadi korban. Bak garis tipis penjatuhan sanksi atau memberi maaf, berlakulah bijak agar tak ada yang terluka. (*)
SURABAYA, 13 Mei 2023
Baca juga:
Realita dan Ambisi G-20 di Perubahan Iklim
|
Ditulis oleh:
Shafa Annisa Ramadhani
Departemen Teknik Kimia
Angkatan 2022
Reporter ITS Online